Minggu, 17 Oktober 2010

Rencong Atjeh

Rencong (Bahasa Aceh: reuncong) adalah senjata tajam belati tradisional Aceh, di Pulau Sumatera Indonesia bentuknya menyerupai huruf "L". Rencong termasuk dalam kategori belati yang berbeda dengan pisau atau pedang.
Rencong memiliki kemiripan rupa dengan keris. Panjang mata pisau rencong dapat bervariasi dari 10 cm sampai 50 cm. Matau pisau tersebut dapat berlengkung seperti keris, namun dalam banyak rencong, dapat juga lurus seperti pedang. Rencong dimasukkan ke dalam sarungbelati yang terbuat dari kayu, gading, tanduk, atau kadang-kadang logam perak atau emas. Dalam pembawaan, rencong diselipkan di antara sabuk di depan perut pemakai.
Rencong memiliki tingkatan; untuk raja atau sultan biasanya sarungnya terbuat dari gading dan mata pisaunya dari emas dan berukirkan sekutip ayat suci dari Alquran Agama Islam. Sedangkan rencong-rencong lainnya biasanya terbuat dari tanduk kerbau ataupun kayu sebagai sarungnya, dan kuningan atau besi putih sebagai belatinya.
Seperti kepercayaan keris dalam masyarakat Jawa, masyarakat tradisional Aceh menghubungkan kekuatan mistik dengan senjata rencong. Rencong masih digunakan dan dipakai sebagai atribut busana dalam upacara tradisional Aceh. Masyarakat Aceh mempercayai bahwa bentuk dari rencong mewakili simbol dari basmallah dari kepercayaan agama Islam.
Rencong begitu populer di masyarakat Aceh sehingga Aceh juga dikenal dengan sebutan "Tanah Rencong".
sumber : wikipedia

Pemesanan : 085277595071 
Rp. 60.000,-(Bentuk seperti gambar)


Kamis, 14 Oktober 2010

Kopi Aceh

Kopi Aceh yang Eksotis
acehtarikAroma kopi Aceh sudah sejak lama terkenal di Indonesia, mungkin pula di dunia. Aceh adalah salah satu penghasil kopi terbesar di negeri kepulauan ini. Tanah Aceh menghasilkan sekitar 40 persen biji kopi jenis Arabica tingkat premium dari total panen kopi di Indonesia. Dan Indonesia merupakan pengekspor biji kopi terbesar keempat di dunia. Bicara kopi Aceh pascatsunami, tak bisa lepas dari berdatangannya komunitas internasional di bumi Serambi Mekkah ini.
Mayoritas mereka juga menyukai kopi Aceh. Tak kurang dari seorang Bill Clinton, yang mantan Presiden Amerika Serikat itu pun, mengagumi kopi Aceh. Utusan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk korban tsunami itu, siap mempromosikan kopi Aceh, ke seluruh dunia melalui sebuah industri kopi di negerinya, Starbucks Coffee. Melalui dirinya, Starbucks Coffee telah menyatakan siap membeli kopi produksi Nanggroe Aceh Darussalam itu. Menurut Clinton, Starbucks Coffee telah menyetujui untuk mengambil kopi dari Aceh. Industri kopi itu tidak hanya membeli tapi juga mencantumkan dimana kopi itu berasal, yaitu tentu dengan label kopi Aceh.


Pada dasarnya kopi Aceh sama dengan kopi-kopi lainnya. Namun, karena ada beberapa bubuk kopi yang dicampur dengan bahan-bahan lain seperti jagung dan beras, ini bisa membuat cita rasa asli dari kopi hilang. 
kopiacehKenikmatan meminum kopi juga tergantung biji dan bubuk kopinya. Banyak kedai kopi-kedai kopi di Aceh menggunakan biji kopi yang berasal dari Lamno, Aceh Jaya atau mencampurnya dengan biji dari Geumpang Pidie tanpa menghilangkan aroma asli kopi masing-masing. 
Berkumpul dan minum kopi di kedai memang sudah menjadi kebiasaan orang Aceh sejak dulu. Orang Aceh berkumpul di kedai kopi, lebih kepada untuk mempererat rasa persaudaraan. Nawawi, pemilik kedai Solong Ulee Kareng, melihat kebiasaan orang Aceh minum kopi ini sejak kecil. Menurutnya, dulu untuk mendapatkan secangkir kopi selain membayar dengan uang juga dilakukan barter atau menukar barang langsung seperti hasil kebun dan lain-lain.
Aroma kopi Aceh akan semakin menjelajah dunia ketika kopi ini telah menjadi salah satu menu dalam Kedai Kopi Espresso Bar. Seteguk demi seteguk kopi Aceh pun akan sampai ke lidah orang-orang dari mancanegara dan seluruh Indonesia. Kenikmatan tiada taranya ketika menghirup kopi Aceh pun akan semakin bisa dinikmati warga dunia lainnya. Singkat kata, sekali mencoba kopi Aceh, dijamin pasti jatuh hati. Besok atau lusa nanti mesti kembali untuk merasakan kenikmatan aromanya lagi.


Selasa, 12 Oktober 2010

Mahkamah Agung Tolak PK Bupati Aceh Besar

JANTHO - Majelis hakim Mahkamah Agung RI akhirnya menolak upaya Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Bupati Aceh Besar, atas kasus pemutasian dua pejabat struktural di Kabupaten Aceh Besar yang dinilai tak sesuai prosedur. Dalam putusan bernomor 37/PK/TUN/2009 itu, Bupati Aceh Besar juga diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp 2,5 juta.

Penolakan permohonan PK oleh Mahkamah Agung tersebut diputuskan pada 24 November 2009. Sedangkan salinan putusan itu dikeluarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh, pada 1 Maret 2010. “Menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dari Bupati Aceh Besar tidak dapat diterima, dan menghukum pemohon (Bupati Aceh Besar) untuk membayar uang perkara sebesar Rp 2.500.000,” demikian bunyi putusan tersebut.

Putusan MA ini memperkuat putusan PTUN Banda Aceh yang memerintahkan Bupati Aceh Besar mengembalikan Jailani Ahmad ke jabatannya sebagai Kepala BKKS Aceh Besar, dan Hasbi Bahyami sebagai Kepala Kantor Syariat Islam Aceh Besar. Serta membayar uang paksa sebesar Rp 100 ribu per hari sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap.

Kedua pejabat tersebut, sebelumnya menggugat Bupati Aceh Besar ke PTUN Banda Aceh karena dimutasi menjadi guru SMKN Jantho, pada 4 Juli 2007 lalu. Gugatan itu kemudian dimenangkan oleh kedua pejabat tersebut, dan Bupati Aceh Besar mengajukan banding ke PTUN Medan. Dalam putusannya tertanggal 27 Maret 2008, PTUN Medan juga menguatkan putusan PTUN Banda Aceh, yang menyimpulkan bahwa mutasi yang dilakukan Bupati Aceh Besar itu tidak sesuai prosedur. Tak puas dengan putusan itu, Bupati Aceh Besar kemudian mengajukan PK ke Mahkamah Agung yang akhirnya ditolak.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim MA menyatakan bahwa, penerbitan SK Bupati Aceh Besar nomor Peg.821.23/70/2007 tentang pemberhentian dan pengangkatan PNS dalam jabatan struktural, telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam arti prosedural.

Salah satunya yaitu, pada konsideran mengingat, SK tersebut mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Padahal sejak berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), UU tersebut tidak berlaku lagi. Seharusnya sejak disahkannya UUPA tanggal 1 Agustus 2006, penerbitan SK tersebut mengacu pada UUPA.(th)

http://www.serambinews.com/news/view/26059/mahkamah-agung-tolak-pk-bupati-aceh-besar