Kamis, 05 Agustus 2010

Canda Mesra di bulan Puasa----> Konsultasi Agama Islam

Pengasuh Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA


Pertanyaan
Yth. Ustadz Pengasuh Rubrik KAI
Assalamualaikum wr. wb.

Sebelumnya, saya mengucapkan Selamat menjalankan ibadah puasa. Ini ada pertanyaan dari kawan yang tidak bisa saya jawab. Mohon Ustadz berkenan menjawabnya.

Kawan saya itu, sebut saja si-A (masih pengantin baru). Sepulang dari kantor, ia bercanda-canda mesra dengan isterinya di siang hari. Apakah hal ini dapat membatalkan puasa? Kalau batal, apa yang harus dilakukan? Mohon kiranya Ustadz menjawab pertanyaan ini. Terima kasih.

Wassalam dari,
Sulaiman di Banda Aceh.

Senada dengan masalah itu, pengasuh juga menerima sms berbunyi: Ustadz Pengasuh yang saya hormati. Saya ingin tanyakan; Bagaimana hukumnya bila kita cium isteri dengan rasa rindu di bulan puasa pada siang hari. Batalkah puasa atau tidak. Terimakasih atas jawabannya. 

Jawaban
Bapak Sulaiman dan Pengirim sms, yth.
Waalaikumussalam wr. wb.

Apabila kita renungi dengan seksama, di antara hikmah puasa Ramadhan adalah megendalikan diri, termasuk nafsu yang tidak birahi, seperti nafsu makan nasi yang halal, nafsu minuman yang tidak terlarang pada siang hari Ramadhan. Akan tetapi semua ini, justeru dilarang karena kita berpuasa agar hikmah puasa, yaitu taqwa benar-benar kita peroleh dengan sempurna. 

Tidak hanya itu, kita juga dianjurkan untuk tidak berenang atau bermain lama-lama pada akhir siang Ramadhan untuk berjaga-jaga atau berhati-hati dari terpercekan air ke dalam mulut atau lainnya yang mengarah kepada batal puasa. Dalam bahasa Ilmu Fiqh itu disebut makruh, artinya: Berfahala kalau ditinggalkan dan tidak berdosa kalau dikerjakan. Maknanya adalah sebaiknya jangan dikerjakan, kecuali kalau sudah meukarat benar-benar. 

Dengan pengantar singkat ini, mari kita coba bahas, hukum bercanda mesra dengan isteri dan mencium isteri dengan rasa rindu di siang hari bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Pekerjaan ini, semestinya tidak terpikir apalagi kita kerjakan. Namun apabila itu telah terlanjur ataupun untuk sekadar mengetahui hukumnya saja, maka mari kita coba menelusuri hasil kajian para ulama. 

Menurut para ulama, selama puasa dibolehkan bagi seorang suami mencium dan mencumbui istrinya, baik di bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan. Akan tetapi jika hal itu menyebabkan ia mengeluarkan air mani, maka puasanya menjadi batal. Meskipun demikian, namun ia harus tetap meneruskan pantangan puasanya, seperti makan dan minum hingga waktu berbuka. Ia juga wajib mengqadha (mengganti) puasa hari itu. Jika hal tersebut terjadi bukan pada bulan Ramadhan (ketika puasa sunat) maka ia tidak perlu meneruskan puasanya, tetapi puasanya itu tetap batal. Hukum yang demikian itu diperoleh dari sejumlah dalil, antara lain:

Hadits, dari Aisyah ra, berkata: Rasulullah saw mencium dan mencumbui istrinya sementara Beliau sedang berpuasa. Kemudian Aisyah melanjutkan: Akan tetapi beliau (Rasulullah) adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya.” (Al Bukhari 1927 dan Muslim 1106)

Kemudian, Masruq ra berkata “Aku pernah bertanya pada Aisyah ra, Apa saja yang dibolehkan bagi laki-laki terhadap istrinya ketika puasa.” Aisyah menjawab: “Semua boleh kecuali jima’.(cf. Mushannaf Abdur Razaq hadits nomor 8439) 

Aisyah juga pernah mengatakan: “Rasulullah saw pernah menciumku padahal beliau dan aku sedang puasa. (HSR.Abu Daud) Hadits lain dari Jabir bin Abdillah ra berkata: Umar ra pernah mengatakan: Suatu hari saya kegirangan kemudian saya mencium istri, sementara saya sedang berpuasa. Kemudian saya mendatangi Nabi saw, lalu aku bertanya: “Saya telah melakukan sesuatu yang besar.” Nabi saw bertanya: “Apa itu?” Aku jawab: “Aku mencium istriku padahal aku sedang puasa.” Nabi saw bersabda: “Apa pendapatmu ketika kamu berkumur (ketika puasa)?” Aku jawab: “Tidak membatalkan puasa.” Nabi saw bersabda: “Lalu ada apa (dengan mencium)?” (HR. Ahmad & Abu Daud). Maksudnya: sebagaimana berkumur dengan air tidak membatalkan puasa kecuali jika sengaja untuk menelan air maka begitu juga hukum mencium istri, yaitu tidak membatalkan puasa kecuali jika dilakukan dengan penuh nafsu birahi sehingga mengeluarkan mani. (cf. Mukhtashar Jami’ Ahkamin Nisa’, halaman 215). 

Jadi kalau cumbuan atau ciuman yang sampai mengeluarkan mani, puasa menjadi batal. Tapi bagaimana kalau keluar hanya madzi ataupun wadi? Madzi malah sering berbarengan dengan cumbuan. Ya, sebagaimana sama dimaklumi, madzi itu adalah air yang keluar dari kemaluan, air ini bening dan lengket. Keluarnya air ini disebabkan syahwat yang muncul ketika seseorang memikirkan atau membayangkan jima’ atau ketika pasangan suami istri bercumbu rayu (biasa diistilahkan dengan foreplay/pemanasan). Air madzi keluar dengan tidak memancar. Keluarnya air ini tidak menyebabkan seseorang menjadi lemas (tidak seperti keluarnya air mani, yang pada umumnya menyebabkan tubuh lemas) dan terkadang air ini keluar tanpa disadari (tidak terasa). 

Air madzi dapat terjadi pada laki-laki dan wanita, meskipun pada umumnya lebih banyak terjadi pada wanita. Hukum air madzi adalah najis. Apabila air madzi terkena pada tubuh, maka wajib mencuci tubuh yang terkena air madzi, adapun apabila air ini terkena pakaian, maka cukup dengan memercikkan air ke bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah terhadap seseorang yang pakaiannya terkena madzi, “cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, kemudian engkau percikkan bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). 

Keluarnya air madzi membatalkan wudhu. Apabila air madzi keluar dari kemaluan seseorang, maka ia wajib mencuci kemaluannya dan berwudhu apabila hendak sholat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Cucilah kemaluannya, kemudian berwudhulah.” (HR. Bukhari Muslim).

Dari uraian dan dalil dalil di atas dapat disimpulkan bahwa apabila dalam bercumbuan itu mengeluarkan air madzi, maka yang bersangkutan dapat terus berpuasa, karena puasanya tidak batal, kecuali keluar air mani. Mani adalah cairan berwarna putih yang keluar memancar dari kemaluan, biasanya keluarnya cairan ini diiringi dengan rasa nikmat dan dibarengi dengan syahwat. Mani dapat keluar dalam keadaan sadar (seperti karena berhubungan suami-istri) ataupun dalam keadaan tidur (biasa dikenal dengan sebutan “mimpi basah”). Keluarnya mani menyebabkan seseorang harus mandi besar / mandi junub. 

Hukum air mani adalah suci dan tidak najis (berdasarkan pendapat yang terkuat). Apabila pakaian seseorang terkena air mani, maka disunnahkan untuk mencuci pakaian tersebut jika air maninya masih dalam keadaan basah. Adapun apabila air mani telah mengering, maka cukup dengan mengeriknya saja. Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah, beliau berkata “Saya pernah mengerik mani yang sudah kering yang menempel pada pakaian Rasulullah dengan kuku saya.” (HR. Muslim)

Demikianlah jawaban singkat pengasuh uraikan tentang canda mesra suami-isteri (hanya suami-isteri) dalam Ramadhan , dengan harapan kiranya dapat merangsang penanya dan kita semua untuk mengkaji lebih jauh dan lebih mendalam. Semoga Allah swt menerima semua amalan Ramadhan kita dan kitapun hendaknya dapat menjadi orang yang muttaqin. Amiin. Wallahu A’lamu Bishshawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar